Minggu, 25 Agustus 2013

Konstantin bagian 1.4

Venezia 1453

                Ibu Lorenzi masih terngiang dalam pikirannya akan perkataan Bartolomeo, bagaimana nasibnya ? jika dia menikah dengan Florenzini, maka hartanya akan kembali namun hidupnya akan menderita, dan jika dia tidak menikahinya, maka dia tidak dapat warisan Mario dan Florenzini akan terus mengancamnya dan anaknya. Namun keteguhan hati dan kesabaran seorang biarawati gereja Maria Teressia ini bisa membantu mematahkan rasa takut ibunya, Lorenzi selalu berfikir bahwa hanya Tuhanlah yang mengatur hidupnya, bukan seorang bangsawan. Itu adalah kata kata yang diutarakan untuk mengalahkan kebingungan ibunya. Akhirnya Lorenzi bertemu dengan Paulo ditempat yang dijanjikan, di pandai besi Maurinzimo. Disana terlihat Paulo sedang mendinginkan pedang terhunus yang baru diangkat dari bara ke dalam ember berisi air. Paulo berbicara sedikit dengan rekannya kemudian datang menghampiri Lorenzi.

“ Lorenzi “.
“ Paulo “.
“ aku merindukanmu, Paulo “.
“ badanmu tidak apa apa ? “.
“ tidak, tidak apa apa, jangan peluk aku, Lorenzi, badanku penuh debu bara “.
“ tidak apa apa “.
“ mari kita ke tepian kanal “.


                Paulo membawanya menembus udara sejuk di lantai lantai batu jalan di tepi kanal, tapi kali ini perasaaan Lorenzi diselimuti rasa penasaran yang amat sangat. Ada apa ini ?. meskipun jantung dan kepala dirasuki udara pagi yang segar di Venezia, namun pikirannya tidak menjadi tenang layaknya kepala dan jantungnya. Paulo membawanya pada salah satu balkon. Sekali lagi pemandangan di Venezia yang sebelumnya Lorenzi telah harapkan akan lukisannya ini, akhirnya khayalan Lorenzi mencapai kenyataan. Begitu indahnya pemandangan sebagian kecil genting genting atap dari bangunan bangunan yang beraneka ragam warnanya, dan juga kanal kanal yang menyisip di antara mereka. Seklias Lorenzi memandang indahnya lukisan kehidupan nyata ini, Paulo membungkukan badannya dan menopang di salah satu pagar balkon. Kemudian Lorenzi bertanya.

“ Paulo, ada apa kau membawaku kesini ? “.
“ baiklah, Lorenzi, ini saatnya aku menjelaskan padamu… “.
“ jelaskanlah “.
“ sebenarnya aku… aku menghindari konflik gereja di Maria Teressia “
“ itukah ? “
“ ya, Lorenzi, ya… “
“ bersabarlah, Paulo… ini akan segera… “.
“ akan segera apa !? “.
Paulo langsung memotong balasan Lorenzi.
“ akan segera berakhir… “.
“ ya, aku tahu, Lorenzi, tapi kapan !? “.
“ sebentar lagi, Paulo, sebentar lagi… “.
Mulutnya mulai kaku karena menahan tangis.
“ kau bisa menghitung berapa hari lagi ini akan berakhir ? “.
“ tidak, tapi… “.
“ sudah cukup, Lorenzi, aku muak dengan ini ! kesabaranku sudah habis ! “.
“ Paulo, aku mohon ! “. Lorenzi tiba tiba meneteskan air mata.


                Selain karena konflik gereja abad lima belas ini, Paulo mengetahui bahwa dia akan menikah dengan seorang anak bangsawan, Luciano, yang dikenalnya sebagai anak yang tamak, seperti yang Lorenzi ketahui. Paulo mendengar ini karena pertama kali, Paulo datang ke rumah ibu Lorenzi, ibunya menjelaskan semuanya, pernikahan, warisan dan bisnis ini.

“ selain itu, kau juga akan menikah dengan anak bangsawan, bukan ? “. Paulo memalingkan pandangannya ke arah bangunan bangunan Venezia.
“ Luciano si tamak itu !? tidak, Paulo, tidak akan pernah “.
“ tidak pernah ya ? sekarang jelaskan padaku bagaimana ibumu menerima bisnisnya “.

“ kau… aku tidak pernah mengira pikiranmu ternyata sependek ini ! “. Air mata Lorenzi bertambah banyak mengalir di kedua pipinya.
“ apa kau bilang !? … ya, Lorenzi aku memang bodoh, ya, memang… sekarang pergilah dari pandanganku, Lorenzi ! “. Paulo memutar balikan pandangannya ke arah Lorenzi.
“ kau… kau tidak tahu bagaimana ibuku menangis terisak isak di bawah lutut Florenzini si iblis Florencia  itu ! “. Lorenzini memusatkan telunjuknya pada hidung Paulo sehingga menyentuhnya.
“ kau… ibumu… menangis terisak isak ? “.
“ ya, kau tidak lihat kenyataannya… sekarang, kau masih kekasihku, kau masih orang yang kukenal baik dan kau masih malaikat bagiku di dunia yang nyata ini, yang seharusnya melindungiku ! “.

“ benarkah itu, Lorenzi ? “. Paulo berfikir dengan wajah muram sebentar.
“ dimana perlindunganmu !?  dimana cintamu itu !? kau melindungiku, artinya kau melindungi ibuku juga, tubuhku ini adalah salah satu anggota tubuh ibuku ! “.
“ sudahlah, Lorenzi, cukup, jauhkan nafas kemarahanmu itu dari wajahku, baiklah aku mengerti sekarang ! “. Paulo meredakan kemarahannya.
“ terima kasih Tuhan, Paulo, aku masih mencintaimu ! ”.
“ Lorenzi, bagaimana jika kita lari dari Itali ? “. Paulo tiba tiba terlintas di pikirannya sebuah ide.
“ tapi kemana ? “. Air mata Lorenzi pun dihapusnya oleh jari jarinya yang indah.
“ Ke Konstantinopolis,… bawa ibumu juga, kita bisa selamatkan ibumu “.

                Tiba sosok pria seumuran Paulo datang, wajahnya selalu terlihat santai, halisnya yang tebal dan matanya tertutup setengah oleh kelopaknya, kepalanya selalu mendongak dan matanya tertuju pada jalan. Itu gambaran seorang yang sombong dan tamak, pria ini adalah Luciano Da Florenzini, putra Bartolomeo. Luciano, mengenakan baju seperti tentara Roma, dia adalah mantan perwira di Roma. Pakaiannya selalu sejenis, agar menurutnya dia tetap terlihat tinggi di antara orang orang Venezia. Benar benar orang yang tamak.

“ buon giorno, buon giorno, Marcolini Paulo, si pandai besi “.
“ pandai besi masih lebih baik dibandingkan orang tamak sepertimu, Florenzini ! “.
“ kau hanya seorang pria miskin, tidak berpendidikan dan tidak punya masa depan ! “.
“ aku menyusun masa depanku disini, di hati dan pikiranku, dan Tuhan bersama ku, masa depanmu akan hancur dengan ketamakanmu itu ! “.
“ Lorenzi, kemarilah, jauhi pria ini ! “.
Luciano memalingkan pandangannya ke arah Lorenzi.
“ Lorenzi, mundurlah ! “.
“ kau menantang maut rupanya, Paulo !, ini pedang buatan tanganmu, kau gunakan pedangku ! “.
“ kau rupanya masih memiliki rasa hormat, mari ayunkan pedang ! “.
“ mari menari ! “.

                Dimulailah perseteruan antara si kaya dan si miskin, bunyi dentingan pedang berbenturan, menarik perhatian dari jalanan dan kanal Venezia ke atas balkon. Paulo menangkis tebasan tebasan dari Luciano, kemudian pedang saling beradu, tangan tangan kedua pria ini saling mendorong. Luciano mengitari langkahnya dan membelakangi pagar balkon, tebasan pedang beradu lagi. Ujung pedang Luciano menyentuk pipi Paulo, kemudian menyayatnya.  Paulo terganggu rasa sakitnya, lalu emosi yang tinggi, Paulo mematahkan pedangnya sendiri yang didenggam Luciani 

“ wah, menakjubkan ya !... selain pandai besi ternyata kau ahli dalam mengayunkan pedang… tapi lihat, pedangmu adalah buatan tanganmu yang murahan itu, dan itu pedangku yang kau genggam, berlapis baja berkualitas… kau… sekali pandai besi tetaplah pandai besi “.

                Dengan tenaga penuh dia mendorong Luciano hingga punggunnya mendobrak pagar balkon dan mereka berdua jatuh ke jalanan. Lorenzi yang duduk tertelungkup dan menutup telinganya itu langsung berdiri dan melihat keadaan di bawah, dia ingin ke bawah melalui tangga, namun pintu dihalangi dua tentara Luciano yang menghunuskan pedangnya. Sementara di bawah, Luciano merasakan benturan punggungnya pada lantai, dan Paulo meringis kesakitan akan luka di lututnya.

“ Lorenzi, melompatlah ! “. Paulo berteriak dari bawah.
“ aku tidak bisa ! “.
“ melopatlah, aku disini ! “.


                Dengan adrenalin yang terpacu, Lorenzi berhasil turun melompat ke pangkuan Paulo, lalu mereka kabur entah kemana dari mata Luciano. Luciano mencoba menembaknya dengan crossbow rekannya, namun gagal. 

                Kaki Lorenzi dan Paulo pun menapak di tempat aman.

“ Lorenzi, ini saatnya “.
“ kita harus menjemput ibuku dulu ! “.
“ baiklah setelah itu, kau kubawa bersama ibumu menjauh dari iblis itu !, ke Konstantinopolis… “.


                Dua manusia yang menderita akan kejaran iblis bangsawan ini akhirnya berhasil pergi dari tanah Eropa, dan berlayar menuju Konstantinopolis….

Konstantin bagian 1.3


             Kereta kuda segera dipanggilnya, naiklah Lorenzi ke dalam kereta kencana indah itu. Warnanya hijau tua, dan ada pernak pernik perak di sisi sisi pintunya, juga lampu gantung pada atap di bagian depan dan belakangnya. Ditarik oleh dua kuda dan seorang pengendaranya.  Dimulailah perjalanan menuju kanal Maurinzimo, sepanjang perjalanan tapal tapal kuda melewati berbagai tekstur jalanan, mulai dari lantai batu, tanah, rerumputan hingga kembali pada lantai batu. Tenaga kuda terasa penuh semangat tiada lelah, sang pengendara juga terlihat semangat menembus udara segar menuju Venezia, udara di perjalanan berhembus di atas rambut pengendara lalu berkeliling di dalam interior kereta dan menyegarkan wajah Lorenzi. 
                Hampir setengah hari berlalu dan akhirnya kereta kuda membawanya hingga ke salah satu penjuru Venezia. Sore hari di Venezia tak kalah indah dibandingkan jam yang berjalan menuju malam hari di Roma, para pedagang dan pandai besi melakukan aktivitasnya di sore hari. Tukang tanaman menata tumbuh tumbuhannya serapih mungkin. Penjual buah buahan hampir tidak ada waktu tersisa untuk mengistirahatkan tangan tangannya yang mengelap dan membersihkan dagangannya. Venezia sore hari menunjukan indahnya kanal kanal dengan sekoci sekoci panjang yang di kayuh dengan tongkat tinggi oleh pengendaranya. Gedung gedung yang berwarna warni, genting genting atap merah, vas vas bunga  bercampur dengan kanal kanal yang tersisipkan di antara mereka. Pemandangan ini tersorot cahaya matahari yang hendak tenggelam di barat, semuanya menjadi berwana jingga halus tersentuh oleh cahayanya. Ini akan menjadi sebuah lukisan mahal jika ada seseorang yang rela melukis dari udara, bagaimana pun caranya. Betapa senangnya kembali ke Venezia, pikir Lorenzi. Wanita epik ini kembali ke tempat dia lahir dan menghirup udara segar Venezia di sore hari, untuk beberapa saat. Kemudian dia memanggail seorang tukang sekoci untuk mengantarkannya ke kanal Maurizimo. 

“ buon giorno, signora, apa yang bisa saya bantu ? “.
“ bisa antarkan aku ke pandai besi Maurinzimo ? “.
“ dengan senang hati, signora “
“ gracie… “

                Sudah lama sekali sejak Lorenzi pindah ke Roma menjadi biarawati, tidak merasakan santainya laju sekoci Venezia. Merasakan guncangan pada sekoci lama saja rasanya menjadi sesuatu yang asing, dan perlu dia kenali lagi. Sebuah pemandangan yang berbeda lagi kali ini, dilihat dari permukaan kanal akan menjadi sebuah lukisan yang tak kalah dengan pemandangan Venezia dari genting rumah. Dua puluh menit berlalu dan salah satu dermaga perahu kecil membuat sekocinya berhenti, sampailah Lorenzi di hadapan pandai besi Maurinzimo. 

“ sudah sampai, signora ! “
“ gracie, signor… ini untukmu “
“ mucho gracie, signora ! … eeh, signora… kuharap kau menikmati Venezia ! “
“ si, signor “


                Lorenzi harus berpisah dengan tukang sekoci yang ramah itu, di hadapan wajahnya, inilah tempat yang dijanjikan Paulo. Tapi kemana Paulo ? tidak terlihat batang hidungnya. Meskipun belum terlihat setidaknya Lorenzi memiliki waktu untuk membuka barang barang kemasannya dan menyimpan rapi di suatu tempat, di rumahnya di tepi kanal. 
                Rumah ini adalah rumah milik ibunya, dan disinilah dahulu Lorenzi lahir, bersama dengan ayah ibunya. Namun sekarang, Mario, ayahnya sudah tiada dua tahun yang lalu dan sekarang ibunya sudah berencana menikah lagi dengan seorang pria yang berumur setengah lebih tua dari ibunya, Bartolomeo Florenzini, seorang bangsawan dari Florencia. Meskipun kaya, namun kekayaannya tidak bisa meningkatkan kualitas pribadinya, tapi hanya mengangkat keahliannya dalam membujuk dan menipu. Wajahnya keras, walaupun sudah tua tapi otot pipinya masih mantap, dan daging pada dahinya melambangkan orang yang tegas, matanya yang menjorok ke dalam dan kelopaknya menutupi setengah matanya adalah lambang orang sombong bagi kepribadian Florenzini. Hidungnya mancung seperti bangsa moor, mulutnya yang tebal di kelilingi kumis dan janggut hitam yang bercampur dengan bulu bulu tua. Badannya tegak dan agak gemuk. Bartolomeo adalah salah satu teman Mario, teman sepekerjaannya, Mario adalah seorang bangsawan juga. Namun semenjak urusannya dengan Florenzini menuai untung yang besar, Florenzini melancarkan trik trik kebohongannya. Sehingga harta Mario diraupnya dan ibu Lorenzi tidak mewarisi apapun setelah kematiannya. Sekarang Florenzini memiliki ambisi untuk menggaet ibu Lorenzi. Dengan mengatakan bahwa Lorenzi akan mengambil kembali keuntungannya dan Lorenzi bisa menikah dengan putra sulungnya, Luciano Da Florenzini. 
                Tepat ketika Lorenzi membuka pintu, ibu Lorenzi sedang menangis terisak isak dan berlutut di kaki Bartolomeo. Mengetahui hal buruk ini, Lorenzi langsung menjatuhkan bawaanya dan mengangkat ibunya dari kaki Bartolomeo.

“ Ibu berdirilah, Florenzini, kau lagi rupanya. Apa yang kau lakukan pada ibuku !? “.
“ aku hanya memabawanya pada bisnis “.
“ bisnis apa !? jelaskan ! “.
“ aku bisa mengembalikan keuntungan pada ibumu atas nama warisan ayahmu, Mario “.
“ lupakanlah itu sudah dua tahun yang lalu ! “.
“ lupakan ? ibumu yang seharusnya melupakannya, nak ! “.
“ tidak ! ibu apa yang kau lakukan ? “.
“ ibu hanya ingin mengambil hak ayahmu, nak ! “.
“ Ibu mu harus menikah denganku demi warisan ayahmu, eh Lorenzi ! “.
“ tidak perlu ! sudah lepaskanlah hartanya, biarkan si tua Bangka ini memilikinya ! “.
“ tapi, nak itu milik ayahmu ! “.
“ tidak, Ibu jangan ! “.
“ dan kau, putri Mario ! kau bisa mendapat keuntungan dari anakku, Luciano “.
“ si anak tamak itu !, aku tidak akan pernah rela mencium nafasnya sekalipun dia bernafas lavender ! “.
“ coba saja menghindar dari kehidupan kami, hidupmu akan selalu rugi ! “. seraya Florenzini menarik lehernya, nafasnya yang panas layaknya nafas banteng matador itu membuatnya merinding. Lalu dijatuhkan olehnya Lorenzi ke lantai.
“ mahluk macam apa kau ini, Florenzini ! Ibu, sudahlah, berhenti menangisnya ! kita seharusnya menangisi hidup di hadapan Tuhan, bukan menangisi harta di hadapan penipu ulung ini ! “.
“ bisnis adalah bisnis, putri Mario “.

“ pergilah dari sini ! atau kuhunjam pisau ini ke jantungmu ! “. Dia langsung mengambil pisau yang terletak di meja, tergeletak di sebelah sebuah apel.
“ Lorenzi, hentikan ! “. Ibunya berusaha memperingatkannya sambil menangis keras seraya merangkak di lantai, seolah kakinya sudah lumpuh karena melihat perseteruan ini.
“ tidak perlu cara kasar, Lorenzi, kau ini wanita cantik, lemah, lembut dan… murahan ! “. Florenzini senyum mengejek seraya berjalan menuju pintu.
“ dasar kau iblis istana ! lepaskan kalung salib itu dari lehermu ! “. begitu pintunya ditutup pria tua itu, Lorenzi melemparkan pisaunya dan mengenai pintu.
               
                Seraya ibunya menangis di lantai dengan tubuh tertelungkup, mata Lorenzi tidak kuat menahan derita akan keinginan ibunya ini. air matanya kemudian tiba tiba bercucuran, membasahi kedua belah pipi cantiknya. 
                Beberapa saat kemudian, setelah isakan tangis ibunya mereda, Lorenzi membawakannya segelas air putih segar, untuk meredakan hati ibunya yang masih merasakan panas. Saat itulah, Ibu Lorenzi merasakan kebenaran perkataan anaknya, Manusia seharusnya menangisi hidup di hadapan Tuhan, bukan menangisi harta di hadapan seorang yang tamak.

Konstantinopolis 1453

                Desir ombak di selat Bosphorus membangunkan Suleyman dari tidurnya, Adzan berkumandang pada dini hari, Suleyman bergegas bangun dan memaksakan diri itu berdiri, meskipun udara sangat dingin, tapi kewajiban adalah kewajiban. Sedikit membasahi mulutnya dan mencuci muka lalu menjalankan shalat dini hari. Satu jam berlalu, matahari muncul dari timur membawa cahaya segarnya, dan memulai pekerjaannya menyinari Eropa dan Asia dari timur ke barat. Demi makanan dan minuman untuk hidupnya Suleyman mulai kembali pada pekerjaannya, semua pekerjaannya dijalaninya dengan kesungguhan hati, karena Suleyman sewaktu waktu harus menggantikan Ibrahim yang sudah mulai menua. Tangan tangan jantannya kembali pada kayu kayuan dan mulai menuai nasib dengan palu dan paku di genggamannya. Pesisir putih yang berselimut desiran ombak menjadikan selat Bosphorus terlihat ramah dan udaranya yang sejuk dari langit lepas bercampur menjadi satu di garis cakrawala. menunjukan bahwa inilah kebesaran Tuhan.

“ Allahu Akbar “. Sambil menghirup udara pagi yang sejuk nan segar di pantai, hati kecil Suleyman berkata.

                Pikiran dan hati Suleyman masih ditakuti rasa khawatir, hatinya masih bertanya tanya kapan perang ini akan dimulai, besok ? lusa ? atau bahkan hari ini ?. satu hal adalah sebuah pelajaran yang Suleyman dapat dari rasa penasarannya sendiri, yaitu, kita sebagai manusia tidak pernah tahu menahu tentang hari esok, sekali pun kita berdo’a atas rasa penasaran yang tinggi untuk melihat masa depan, jawabannya selalu “tidak”, dan hanya Tuhan yang tahu, hanya Tuhan yang menghendaki. 
                Matahari mulai naik menuju seperempat belahan bumi, tetap saja hati Suleyman terikat rasa khawatir. Tidak lama kemudian, Ahmet datang, dan duduk di sampingnya. Menyandarkan punggungnya di sisi kiri lambung kapal kecil.

“ aselamu aleikum, kardesimi “ .
“ waleikum selam, ya Ahmet  “.
“ bagaimana pekerjaanmu hari ini ? “.
“ seperti biasa, tidak ringan, tidak juga berat “.
“ elhamdulillah, tapi wajahmu, kau terlihat khawatir hari ini. ada apa, kawanku ? adakah salah satu tulangmu yang sakit ? “.
“ tidak, Ahmet hanya saja … “
“ apa ? “
“ hanya saja, aku terbayang akan perang dahsyat yang akan terjadi, lihat kerajaan Ottoman dan seluruh penghuni Topkapi Sarayi sedang menyusun rencana untuk menaklukan Konstantinopolis dan kaum Kristian kekaisaran Orhan sedang menggabungkan kekuatan Yunani, Serbia, Roma dan Polandia untuk Konstantinopolis juga “.
“ itu akan menjadi kabar bagus untuk Ottoman ? “
“ tapi tidaklah mudah, untuk mencapai kemenangan “
“ ya, aku tahu itu “.
“ Ahmet, aku ingin sekali merasakan jihad di jalan Allah “.
“ kau bisa, kita shalat bersama, kitab berdo’a bersama, bekerja dan membanting tulang bersama untuk hidup dan keluarga kita “.
“ maksudku selain itu, Ahmet, jihad yang benar benar jihad “.
“ apa maksudmu ? “.
“ aku akan ikut perang “
“ kau gila, Suleyman ! “
“ tidak, aku akan menjadi tentara Ottoman, aku akan ikut kesatuan Yeniseri “.
“ kau yakin, Suleyman ? “
“ ya, demi islam, demi Ottoman “

                Ahmet menatapnya dengan rasa heran, Suleyman terus mengelap belatinya tanpa henti seraya melamunkan hal itu. Beberapa detik kemudian, entah apa yang merasuki Suleyman, dia lekas berdiri dan meninggalkan Ahmet begitu saja. Betapa herannya Ahmet, dia yang biasa berkepribadian sopan dan ramah, dan sederhana juga, tapi sekarang berbalik seratus delapan puluh derajat menjadi ambisius. 

Konstantin bagian 1.2

Roma, 1453

                Pagi hari di jalanan kota Roma, matahari menyinari pria pria dan wanita wanita dari kalangan Yunani, Itali, Turki dan Inggris. Gereja Maria Teressia berdiri tegak di hari minggu dan terawat rapih dan bersih oleh para biarawan dan biarawatinya. Jalanan jalanan di Roma dipenuhi dengan berbagai macam pedagang dari belahan timur tengah, Eropa juga sebagian kecil bangsa China dari bumi timur, mewarnai bata bata yang menjadikan rute rute di Roma. Seorang wanita dari Venezia , Lorenzi Da Venizza berdagang jagung, wortel dan timun, namun pekerjaannya itu hanyalah demi membantu pamannya,  Alberto Rossa. Seorang pria paruh baya bertubuh gemuk, rambutnya keriting, wajahnya kotak dengan halis hitam pekat dan matanya coklat, berhidung lurus tajam dan mulut tipis dengan kumis dan janggut agak lebat melindungi wajahnya. Sang paman sendiri bukan hanya seorang pedagang yang menjual buah karya seorang atasan, melainkan dialah atasan bagi semua urusan perdangannya, dia yang memiliki ladang jagung, wortel dan timun itu. Benar benar seorang yang mandiri di mata Lorenzi. Wanita Venezia ini cenderung menjadi seorang pribadi yang melayani dibandingkan dia yang ingin meminta layanan orang lain. Lorenzi berambut gelap agak kecoklatan, matanya besar dan halisnya tebal, hidungnya melengkung cekung pada pangkalnya, mulutnya tipis dan dagunya lancip. Ada beberapa hari Lorenzi menghabiskan waktunya sebagai biarawati di gereja Maria Teressia, bahkan sebagian besar waktunya diahabiskan untuk merawat Maria Teressia. Malam hari di Roma menjadi indah ketika lampu lampu perumahan menyala dengan lilin, mayoritas keluarga dari setiap warga Roma memiliki tradisi untuk makan malam dan berdo’a  bersama. Perapian dalam sebuah keluarga menjadi ciri tersendiri setiap malam, tidak sedikit keluarga yang memiliki perapian di rumahnya. Meskipun Lorenzi memiliki rumah pamannya untuk ditempati, namun dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk hidupnya sebagai biarawati di Gerejanya. Sebagai seorang biarawati muda, Lorenzi menyimpan seorang insan dalam hatinya, laki laki pujaannya, Marcolini Paulo, Lorenzi biasanya memanggilnya Paulo. Baru baru ini, Paulo bekerja di tempat kelahiran Lorenzi, di Venezia. Pekerjaannya tidaklah hebat, hanya sebagai tukang sekoci di kanal kanal Venezia, terkadang menjadi seorang buruh pandai besi dan membantu rekannya membuat topeng topeng Venezia. Akan tetapi, Paulo memiliki hati yang bersih, bijak dan tegas. Tapi kelemahannya adalah emosi dari hati yang sukar untuk bersabar. Paulo adalah seorang pemuda seumuran dengan Lorenzi, dan dulu pernah menuai hidup sebagai biarawan bersamanya di Gereja yang sama. Tanpa alasan yang jelas, Paulo meninggalkan pekerjaannya itu, Lorenzi bisa melihatnya hanya jika dia kembali ke Venezia. Sulit sekali Lorenzi menemuinya, bahkan ketika menemuinya dia selalu menyembunyikan wajahnya dan kabur dari mata Lorenzi.
                Keesokan harinya, lonceng Maria Teressia berbunyi, Lorenzi hendak membuka matanya. Wanita manis ini bangun dan mengambil segelas air putih, namun dia teringat akan Paulo. Kemudian dia membaca kitabnya di ruang utama gereja, disana terdengar olehnya tanpa sengaja sebuah percakapan kecil dari dua biarawan lain di belakang Lorenzi.

“ Anna, kau sudah tau sebuah berita ? “
“ berita apa, Minna ? “
“ ada berita bahwa konflik gereja sedang membara hari ini… “
“ kenapa ? bagaimana bisa ? ada apa ? “
“ para kardinal belum memutuskan kepausan yang baru “
“ kenapa ? “
“ ada sejumlah perbedaan pendapat antara Byzantium dan Roma “
“ dari mana kau mengetahui itu ? “
“ bapak Giovanni, rekan dekat ayahku “
“ kau tahu, ini akan menghambat perebutan Konstantinopel “
“ mungkin memperlemah, tepatnya “
“ lalu, bagaimana ini ? “
“ kabar darinya lagi, bahwa kaum orthodox dan para Kardinal Constantin akan berdo’a bersama, di Roma dan Konstantinopel “
“ kita hanya bisa berdo’a, itulah bantuan kita “


                Percakapan ini terpotong dengan suara pintu terbuka karena hadirnya jema’ah yang masuk untuk berdo’a. muncul dalam pikiran Lorenzi, inikah yang membuat Paulo meninggalkannya baru baru ini ? Lorenzi tahu bahwa Paulo memang orang yang sukar dalam bersabar, lalu terpikir olehnya lagi bahwa Paulo kemungkinan pernah mendengar berita ini sebelumnya. Munculah niat dalam hati Lorenzi untuk mengirim surat padanya. Petang hari memimpin matahari untuk kembali istirahat, dan aktivitas di sekitar Maria Teressia mulai berkurang, orang orang Roma mulai menyalakan kembali lilin lilinya dan menghangatkan keluarga dengan perapian mereka. Lorenzi mulai menulis suratnya.

                “ Paulo, bagaimana kabarmu di Venezia ? beratkah pekerjaanmu sekarang ini ? aku merindukanmu, Paulo tersayang. Aku penasaran kenapa setiap kali aku kembali ke Venezia untuk mencarimu, kau selalu lari dari mataku ? apa masalahmu disini ? aku membutuhkanmu, dan alangkah baiknya jika kau menerima kehadiranku disana, ingatlah, Paulo Venezia adalah tempat kelahiranku, kau tidak bisa lari dari pandanganku selama kau tetap menginginkan bekerja disana.
                Marcolini Paulo, jika kau mendengar berita konflik gereja, maka kemarilah, kembalilah, dan bersabarlah, ini akan berakhir secepatnya. Kita akan berdo’a bersama di Konstantinopel. Aku mohon kau membalas suratku ini, dan tetapkan waktu dan tempat untuk kita saling bertemu, ini Lorenzi, seseorang yang menyayangimu. “



                Lorenzi melipat dan membungkus surat itu kemudian mengecapnya dengan lilin merah, Lorenzi berniat untuk mengirimnya esok hari. 

                Tiga hari kemudian, datanglah surat dari Paulo, Lorenzi sangat gembira melihat kertas dari kekasihnya ini, seolah surat dari Paulo adalah sebuah rencana yang hampir dibatalkan karena sesuatu hal. Lorenzi langsung berhenti dari pekerjaan menyapunya, kemudian pergi ke lantai atas dan duduk di salah satu pagar balkon. Dibukalah surat itu, dan dibacanya

                “ Lorenzi Da Venizza tersayang, ini aku Marcolini Paulo, aku sangat berterima kasih kau mengirim surat padaku. Sulit untuk membicarakan ini melalui surat, aku menebak bahwa kau berharap kita masih bisa bicara baik baik kan ? kutunggu kehadiranmu besok di Venezia, kanal dekat pandai besi Maurinzimo, terima kasih Lorenziku sayang. “
                Surat ini begitu pendek, Lorenzi terheran, namun dia tahu ada maksud panjang dari surat balasan ini. Begitulah, sejak dia mendapat surat balasan itu, sangat bersyukurlah hatinya karena seseorang yang pernah tiba tiba tidak peduli bisa diajak bicara dengan baik. Dengan hati yang tenang, Lorenzi duduk dan membaringkan setinggi punggung hingga kepalanya pada tembok samping pada pagar balkon, dan memandang dengan penuh harap, ke gemerlap malam Roma yang epik ini, begitu indahnya Roma di malam hari melalui pemandangan balkon Maria Teressia. Wajahnya kemudian berseri seri dan senyum kecil, tangan kanannya digerakan sesuai pola salib atas hati yang bercampur gembira ini.
               
Venezia 1453

                Lorenzi dari Roma bergegas mengganti pakaiannya dan membawa beberapa barang bawaan dari Maria Teressia. Kemudian dia pergi ke tempat pamannya, Alberto untuk menyimpan beberapa barang miliknya yang dibawanya dari gereja. Berdasarkan hati yang puas dan pikiran yang ambisius untuk menemuinya, namun perasaannya seolah diaduk perasaan tegang juga. 

“ paman Alberto, aku akan pergi sebentar ! “
“ pergi ? kemana ? “
“ aku akan pergi ke Venezia ? “
“ kau rindu orang tua mu ? “
“ bukan, hanya saja aku akan menemui seseorang “
“ baiklah, pergilah, hati hati “
“ aku mohon maaf telah meninggalkan barang barangku disini “
“ ya, silahkan tak apa, nak ini bawalah “
“ hanya sementara, aku berjanji… apa ini ? “
“ sebagian tabunganku… ya, hati hatilah “

Konstantin bagian 1.1

Konstantinopolis, 1453

                627, Medinna. Nabi Muhammad S.A.W pernah ditanya oleh salah satu sahabatnya mengenai penaklukan oleh kaum muslim. Rasulullah berkata “ suatu saat nanti bangsa muslim akan membuka kota kota kaum Nasrani…”, kemudian sahabat bertanya “ maka kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu ? Rumiyya atau Konstantiniyya ? “. Kemudian Rasulullah S.A.W menjawab “ Konstantiniyya akan dibuka terlebih dahulu, suatu saat nanti sungguh Konstantin akan ditaklukan oleh seorang pemimpin, yang sebaik baik pemimpin adalah penakluknya dan pasukannya yang sebaik baiknya pasukan.
                1453, Turki berada dibawah pemerintahan Byzantium Roma yang dipimpin oleh kaisar Konstantin VIII atau pangeran Orhan.  Kekaisaran Konstantin membentang sepanjang pantai Eropa sampai selat Bosphorus bahkan meliputi sebagian besar asia kecil, dan Konstantinopel adalah hasil daerah perluasan bangsa Roma dengan nama Kristiani. Meskipun kaisar Konstantin menghidupi nama Kristus di Turki, namun Islam masih berdiri kokoh dalam naungan pemerintahan Sultan Mehmet II.  Sultan Mehmet II adalah penerus ayahnya, Sultan Mehmet, cucu dari Sultan Murat II. Konstantinopolis nyaris jatuh ke tangan Islam pada masa pemerintahan Sultan Murat II. Sang Sultan sudah kelelahan dengan konflik, maka beliau memberikan tahtanya pada Mehmet II, setelah kematian putra tercintanya, Alladin. Sang wazir agung, khalil Pasha menaikan Sultan Murat kembali pada tahtanya semenjak adanya ancaman pasukan salib. Namun sang sultan gugur dalam penaklukannya, beliau tewas di tangan tentara salib. Anak anak dan cucu cucunya, yang salah satunya adalah Sultan Mehmet atau rakyatnya biasa menyebutnya dengan Sultan Fetih meneruskan pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam demi kehidupan rakyat Turki dan berdirinya kerajaan Osman, atau Utsmaniya. Orang Eropa menyebutnya dengan naman The Othman atau Ottoman Empire.  
                1453 Konstantinopolis, hiduplah satu keluarga sederhana yang terdiri dari ayah dan ibu dan seorang anak, ini adalah keluarga Erdogan. Seorang ayah, Erdogan beperan penting dalam keluarganya dalam mencari nafkah dan pekerjaannya tidaklah mudah namun terhormat, dia bekerja sebagai pandai besi dan pembuat pedang kerajaan Ottoman di Topkapi Sarayi, dan istrinya, Guldeyna bekerja menjual buah buahan di pasar, di pesisir teluk Golden Horn. Dan anak dari kedua pasang orang tua itu bernama Suleyman, pemuda sopan dan cenderung mudah memahami permasalahan ini berumur 18 tahun tinggal bersama sepupu perempuannya, Farhat yang menginjak 23 tahun. Suleyman tidak sekolah, tapi dia bekerja membuat sekoci sekoci dan mengambil bagian pembuatan kapal, di pesisir Selat Bosphorus. Farhat berada jauh darinya, karena dia bekerja bersama Guldeyna menjual buah dan sayuran.  Suleyman bekerja bersama rekan rekan dekatnya, Ahmet,seumuran dengan Suleyman berbadan kurus tinggi berambut tipis, wajahnya putih namun kusam, matanya agak sipit dan halisnya lancip namun tebal pada pangkalnya, hidungnya seperti orang Arab dan bibirnya tipis, dagunya agak kotak dan pipinya pirus. Sikap Ahmet agak keras kepala namun dia bisa mengenal hal yang baik atau buruk bagi rekan rekannya. Gizma, lebih muda dari Suleyman, matanya besar dan halisnya coklat tebal, bola matanya biru dan hidungnya membengkok, berkulit putih. Bibirnya agak tebal. Rambutnya yang hitam diikat kebelakang. Gizma bersikap ramah namun memiliki sifat sensitive, terkadang Gizma memiliki kekhawatiran berlebihan ketika mendengar berita yang menurutnya mencemaskannya. Berki, rekan Suleyman yang memiliki umur di antara umur Ahmet dan Gizma. Berki memiliki mata besar dan bola matanya coklat terang, halisnya tebal. Rambutnya hitam agak berantakan dan panjangnya hingga menyentuh lehernya, hidungnya lurus tajam dan dagunya lancip. Berki adalah anak paling ramah di antara keempat temannya, selalu menyambut ramah siapa pun, dan sifat itulah yang sangat dicintai teman temannya. Emina, adalah saudari Gizma, wajahnya mirip dengan gadis Eropa, rambutnya pirang, menjulur panjang sampai bahu. Halisnya tipis dan matanya biru gelap, dan hidungnya lurus tajam, bibirnya juga tipis dan dagunya seperti Berki. Meskipun dia sadar terkadang dirinya menarik perhatian, namun Emina tetap menjaga penampilannya dengan tudung dan cadar hijau menutupi setengah wajahnya dan badanya tertutup dengan kain rapi nan panjang, itulah sikap yang sering menjadi kebiasaannya . Mereka berlima bekerja di bawah naungan mantan tentara Murat, seorang pria paruh baya bernama Ibrahim. Sikapnya baik, rendah hati, berhati emas dan tegas namun karena ketegasannya terkadang Ibrahim menjadi keras kepala dan kemarahannya bisa bertahan lama. Rambut dan janggutnya yang lebat sudah memudar, akan tetapi badan dan wajahnya terawat sebab mengandalkan kesehatan berwudhu dan jiwa juga pikirannya selalu sehat dengan berdo’a dan shalat kepada Allah yang selalu tepat waktu. Dulu Ibrahim menjabat sebagai tentara Ottoman, dia adalah salah satu dari tentara Murat yang selamat dari penaklukan pasukan salib. Ibrahim pernah dijuluki sebagai “perisai Edirne”, karena ketangguhannya dalam pertempuran dan kelincahannya melangkah dengan membawa tameng, namun julukan itu sirna ketika dia dan kelompoknya kalah bersamaan dengan gugurnya Sultan Murat II. Suleyman hari ini bekerja bersama Ibrahim membuat potongan potongan kayu jati, Ahmet mendapat bagian menyusun rankaian kapal kecil bersama pekerja lainnya, Gizma mendapat giliran memasang layar bersama Emina dan pekerja lain yang juga bercampur antara remaja laki laki dan perempuan. Pekerja pekerja remaja laki laki itu adalah pelaut dan akan berlayar menuju Venesia, untuk berdagang rempah rempah di jalanan Venesia di tepian kanal kanalnya. Emina  dan Gizma bisa jadi akan ikut mereka suatu hari, tapi entah kapan, pikir Emina. Teluk Golden Horn terlihat indah pada sore hari dan pesisirnya indah ketika matahari membuat langit dan air laut menjadi jingga ketika cahaya matahari mulai pudar, tenggelam di cakrawala, pesisir Selat Bosphorus dipenuhi dengan pedagang mewarnai tepian jalanan sepanjang jalan di dekat pesisir. Namun pedagang yang berwarna itu semakin lama menghilang seiring dengan tenggelamnya matahari, dan sebagian besar kapal kapal nelayan pun pulang ke tempat asalnya. Pada saat malam, keempat teman Suleyman sudah pulang, namun dia masih berada di tempat Ibrahim, duduk melamun dan mengasah sebuah belati. Ibrahim yang terheran malam itu, bertanya padanya.

“ Suleyman, kau tidak pulang ? atau kau baru saja akan pulang ? “.
“ ya, aku baru saja akan pulang … “.


                Namun Suleyman sepertinya tidak sepenuhnya mendengarkan Ibrahim, dan terlihat olehnya Suleyman melamun, kemudian Ibrahim pun memanggil namanya dengan nada menghentak.

“ Suleyman ! “.
“ ya !, bey Ibrahim, ada apa ? “.

                Suleyman langsung terbangun dari lamunannya, dengan jawaban yang terpatah patah, Suleyman menjawab.

“ kau melamun ! apa yang kau pikirkan, hai putra ‘pisau Ottoman’ ?”.
“ kau… ternyata masih ingat julukan ayahku…aku..aku…aku masih takut akan tentara Byzantin, aku dengar kabar secara diam diam di Galata, tahun ini uskup Roma dan Byzantin akan mengadakan pertemuan untuk sebuah persekutuan. Kau tau itu artinya, effendim “.
“ ya, akan adanya perang dahsyat, perebutan kembali Konstantinopel untuk Kristiani“.
“ apa yang harus aku lakukan, dimana aku harus berlindung ? “.

                Ibrahim menemani suleyman di pesisir Bosphorus, duduk sambil memandang kilauan kilauan redup kapal yang masih berdiri di atas lepas pantai. Desir ombak Bosphorus mengalir seperti ular melalui lepas pantai dan berakhir dengan menyentuh bibir pesisir.

“ dimana harus  berlindung… berlindunglah di bawah naungan Allah… jika kau percaya bahwa Allah melindungimu, niscaya Dia akan berada di hatimu “.
“ bagimana caranya ? sesederhana itukah ? ”.
“ kau, begitu pula aku memeluk islam, kau pasti percaya Allah “.
“ evet, effendim “.
“ caranya ? mintalah perlindungan dari-Nya, sebaik baiknya kau berdo’a akan menjadikan sebaik baiknya perlindungan untukmu, aku tidaklah seperti Rasulullah Selallahu Aleihi Waselam. Tapi percayalah aku, untuk percaya pada Allah ! “.
“ Selallahu Aleihi Waselam…”.
Suleyman mengatakan nama Selallahu Aleihi Waselam bersamaaan dengan Ibrahim.
“ endiselenme…sekarang pulanglah, kardesimi “.

                Kemudian, bahu Suleyman mengangkat bahu dan pikirannya yang sudah lebih tenang mendirikan badannya untuk bergegas pulang, kali ini setelah percakapan kecil Suleyman lebih merasa percaya diri, karena Ibrahim mempercayakan pribadi Suleyman untuk tetap berdo’a pada Allah. Terdengarlah suara sebuah benda jatuh dari pinggang Suleyman, yaitu belatinya yang jatuh tanpa sengaja.

“ Suleyman ! “. Ibrahim memanggilnya, kemudian dia berbalik badan dan menatap ke belakang, ke arah Ibrahim.
“ ada apa, effendim ? “
“ belatimu jatuh dari pinggangmu “.
Diberikan lah belati itu dari tangannya kepada Suleyman.
“ tessekur ederim, affedersiniz, effendim, aselamu aleikum “.
“ waleikum selam…”.

               
                Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam malam berubah menjadi dini hari, matahari dari timur masih tersembunyi di bawah garis cakrawala. Suleyman duduk dengan menopangkan betis dan pahanya, dia berdo’a mendirikan ibadah malam kepada Allah. Putra Erdogan ini kebingungan dan  pikirannya terpenuhi berbagai macam kemungkinan, Suleyman bingung akan apa yang ia lakukan nantinya, jika sewaktu waktu bara api peperangan menghantam kehidupan keluarga dan orang orang tercintanya. Tapi dengan keyakinan dari Ibrahim akan perlindungan Allah, Suleyman bisa menenangkan diri. Sambil memeluk belatinya yang masih tersimpan aman di dalam sarung kulitnya, Suleyman perlahan memejamkan mata dan terlarut dalam tidurnya.