Pagi
hari di jalanan kota Roma, matahari menyinari pria pria dan wanita wanita dari
kalangan Yunani, Itali, Turki dan Inggris. Gereja Maria Teressia berdiri tegak
di hari minggu dan terawat rapih dan bersih oleh para biarawan dan
biarawatinya. Jalanan jalanan di Roma dipenuhi dengan berbagai macam pedagang
dari belahan timur tengah, Eropa juga sebagian kecil bangsa China dari bumi
timur, mewarnai bata bata yang menjadikan rute rute di Roma. Seorang wanita
dari Venezia , Lorenzi Da Venizza berdagang jagung, wortel dan timun, namun
pekerjaannya itu hanyalah demi membantu pamannya, Alberto Rossa. Seorang pria paruh baya
bertubuh gemuk, rambutnya keriting, wajahnya kotak dengan halis hitam pekat dan
matanya coklat, berhidung lurus tajam dan mulut tipis dengan kumis dan janggut
agak lebat melindungi wajahnya. Sang paman sendiri bukan hanya seorang pedagang
yang menjual buah karya seorang atasan, melainkan dialah atasan bagi semua
urusan perdangannya, dia yang memiliki ladang jagung, wortel dan timun itu.
Benar benar seorang yang mandiri di mata Lorenzi. Wanita Venezia ini cenderung
menjadi seorang pribadi yang melayani dibandingkan dia yang ingin meminta
layanan orang lain. Lorenzi berambut gelap agak kecoklatan, matanya besar dan
halisnya tebal, hidungnya melengkung cekung pada pangkalnya, mulutnya tipis dan
dagunya lancip. Ada beberapa hari Lorenzi menghabiskan waktunya sebagai
biarawati di gereja Maria Teressia, bahkan sebagian besar waktunya diahabiskan
untuk merawat Maria Teressia. Malam hari di Roma menjadi indah ketika lampu
lampu perumahan menyala dengan lilin, mayoritas keluarga dari setiap warga Roma
memiliki tradisi untuk makan malam dan berdo’a
bersama. Perapian dalam sebuah keluarga menjadi ciri tersendiri setiap
malam, tidak sedikit keluarga yang memiliki perapian di rumahnya. Meskipun
Lorenzi memiliki rumah pamannya untuk ditempati, namun dia lebih banyak
menghabiskan waktu untuk hidupnya sebagai biarawati di Gerejanya. Sebagai
seorang biarawati muda, Lorenzi menyimpan seorang insan dalam hatinya, laki
laki pujaannya, Marcolini Paulo, Lorenzi biasanya memanggilnya Paulo. Baru baru
ini, Paulo bekerja di tempat kelahiran Lorenzi, di Venezia. Pekerjaannya
tidaklah hebat, hanya sebagai tukang sekoci di kanal kanal Venezia, terkadang
menjadi seorang buruh pandai besi dan membantu rekannya membuat topeng topeng Venezia.
Akan tetapi, Paulo memiliki hati yang bersih, bijak dan tegas. Tapi
kelemahannya adalah emosi dari hati yang sukar untuk bersabar. Paulo adalah
seorang pemuda seumuran dengan Lorenzi, dan dulu pernah menuai hidup sebagai
biarawan bersamanya di Gereja yang sama. Tanpa alasan yang jelas, Paulo
meninggalkan pekerjaannya itu, Lorenzi bisa melihatnya hanya jika dia kembali
ke Venezia. Sulit sekali Lorenzi menemuinya, bahkan ketika menemuinya dia
selalu menyembunyikan wajahnya dan kabur dari mata Lorenzi.
Keesokan
harinya, lonceng Maria Teressia berbunyi, Lorenzi hendak membuka matanya.
Wanita manis ini bangun dan mengambil segelas air putih, namun dia teringat
akan Paulo. Kemudian dia membaca kitabnya di ruang utama gereja, disana
terdengar olehnya tanpa sengaja sebuah percakapan kecil dari dua biarawan lain
di belakang Lorenzi.
“ Anna, kau sudah tau sebuah berita ? “
“ berita apa, Minna ? “
“ ada berita bahwa konflik gereja sedang membara hari ini… “
“ kenapa ? bagaimana bisa ? ada apa ? “
“ para kardinal belum memutuskan kepausan yang baru “
“ kenapa ? “
“ ada sejumlah perbedaan pendapat antara Byzantium dan Roma “
“ dari mana kau mengetahui itu ? “
“ bapak Giovanni, rekan dekat ayahku “
“ kau tahu, ini akan menghambat perebutan Konstantinopel “
“ mungkin memperlemah, tepatnya “
“ lalu, bagaimana ini ? “
“ kabar darinya lagi, bahwa kaum orthodox dan para Kardinal Constantin akan berdo’a bersama, di Roma dan Konstantinopel “
“ kita hanya bisa berdo’a, itulah bantuan kita “
Percakapan
ini terpotong dengan suara pintu terbuka karena hadirnya jema’ah yang masuk untuk
berdo’a. muncul dalam pikiran Lorenzi, inikah yang membuat Paulo
meninggalkannya baru baru ini ? Lorenzi tahu bahwa Paulo memang orang yang
sukar dalam bersabar, lalu terpikir olehnya lagi bahwa Paulo kemungkinan pernah
mendengar berita ini sebelumnya. Munculah niat dalam hati Lorenzi untuk
mengirim surat padanya. Petang hari memimpin matahari untuk kembali istirahat,
dan aktivitas di sekitar Maria Teressia mulai berkurang, orang orang Roma mulai
menyalakan kembali lilin lilinya dan menghangatkan keluarga dengan perapian
mereka. Lorenzi mulai menulis suratnya.
“ Paulo, bagaimana kabarmu di Venezia ? beratkah pekerjaanmu sekarang ini ? aku merindukanmu, Paulo tersayang. Aku penasaran kenapa setiap kali aku kembali ke Venezia untuk mencarimu, kau selalu lari dari mataku ? apa masalahmu disini ? aku membutuhkanmu, dan alangkah baiknya jika kau menerima kehadiranku disana, ingatlah, Paulo Venezia adalah tempat kelahiranku, kau tidak bisa lari dari pandanganku selama kau tetap menginginkan bekerja disana.
Marcolini Paulo, jika kau mendengar berita konflik gereja, maka kemarilah, kembalilah, dan bersabarlah, ini akan berakhir secepatnya. Kita akan berdo’a bersama di Konstantinopel. Aku mohon kau membalas suratku ini, dan tetapkan waktu dan tempat untuk kita saling bertemu, ini Lorenzi, seseorang yang menyayangimu. “
Lorenzi
melipat dan membungkus surat itu kemudian mengecapnya dengan lilin merah,
Lorenzi berniat untuk mengirimnya esok hari.
Tiga
hari kemudian, datanglah surat dari Paulo, Lorenzi sangat gembira melihat
kertas dari kekasihnya ini, seolah surat dari Paulo adalah sebuah rencana yang
hampir dibatalkan karena sesuatu hal. Lorenzi langsung berhenti dari pekerjaan
menyapunya, kemudian pergi ke lantai atas dan duduk di salah satu pagar balkon.
Dibukalah surat itu, dan dibacanya
“ Lorenzi Da Venizza tersayang, ini aku Marcolini Paulo, aku sangat berterima kasih kau mengirim surat padaku. Sulit untuk membicarakan ini melalui surat, aku menebak bahwa kau berharap kita masih bisa bicara baik baik kan ? kutunggu kehadiranmu besok di Venezia, kanal dekat pandai besi Maurinzimo, terima kasih Lorenziku sayang. “
Surat
ini begitu pendek, Lorenzi terheran, namun dia tahu ada maksud panjang dari
surat balasan ini. Begitulah, sejak dia mendapat surat balasan itu, sangat
bersyukurlah hatinya karena seseorang yang pernah tiba tiba tidak peduli bisa
diajak bicara dengan baik. Dengan hati yang tenang, Lorenzi duduk dan
membaringkan setinggi punggung hingga kepalanya pada tembok samping pada pagar
balkon, dan memandang dengan penuh harap, ke gemerlap malam Roma yang epik ini,
begitu indahnya Roma di malam hari melalui pemandangan balkon Maria Teressia.
Wajahnya kemudian berseri seri dan senyum kecil, tangan kanannya digerakan
sesuai pola salib atas hati yang bercampur gembira ini.
Venezia 1453
Lorenzi
dari Roma bergegas mengganti pakaiannya dan membawa beberapa barang bawaan dari
Maria Teressia. Kemudian dia pergi ke tempat pamannya, Alberto untuk menyimpan
beberapa barang miliknya yang dibawanya dari gereja. Berdasarkan hati yang puas
dan pikiran yang ambisius untuk menemuinya, namun perasaannya seolah diaduk
perasaan tegang juga.
“ paman Alberto, aku akan pergi sebentar ! “
“ pergi ? kemana ? “
“ aku akan pergi ke Venezia ? “
“ kau rindu orang tua mu ? “
“ bukan, hanya saja aku akan menemui seseorang “
“ baiklah, pergilah, hati hati “
“ aku mohon maaf telah meninggalkan barang barangku disini “
“ ya, silahkan tak apa, nak ini bawalah “
“ hanya sementara, aku berjanji… apa ini ? “
“ sebagian tabunganku… ya, hati hatilah “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar