Minggu, 25 Agustus 2013

Konstantin bagian 1.2

Roma, 1453

                Pagi hari di jalanan kota Roma, matahari menyinari pria pria dan wanita wanita dari kalangan Yunani, Itali, Turki dan Inggris. Gereja Maria Teressia berdiri tegak di hari minggu dan terawat rapih dan bersih oleh para biarawan dan biarawatinya. Jalanan jalanan di Roma dipenuhi dengan berbagai macam pedagang dari belahan timur tengah, Eropa juga sebagian kecil bangsa China dari bumi timur, mewarnai bata bata yang menjadikan rute rute di Roma. Seorang wanita dari Venezia , Lorenzi Da Venizza berdagang jagung, wortel dan timun, namun pekerjaannya itu hanyalah demi membantu pamannya,  Alberto Rossa. Seorang pria paruh baya bertubuh gemuk, rambutnya keriting, wajahnya kotak dengan halis hitam pekat dan matanya coklat, berhidung lurus tajam dan mulut tipis dengan kumis dan janggut agak lebat melindungi wajahnya. Sang paman sendiri bukan hanya seorang pedagang yang menjual buah karya seorang atasan, melainkan dialah atasan bagi semua urusan perdangannya, dia yang memiliki ladang jagung, wortel dan timun itu. Benar benar seorang yang mandiri di mata Lorenzi. Wanita Venezia ini cenderung menjadi seorang pribadi yang melayani dibandingkan dia yang ingin meminta layanan orang lain. Lorenzi berambut gelap agak kecoklatan, matanya besar dan halisnya tebal, hidungnya melengkung cekung pada pangkalnya, mulutnya tipis dan dagunya lancip. Ada beberapa hari Lorenzi menghabiskan waktunya sebagai biarawati di gereja Maria Teressia, bahkan sebagian besar waktunya diahabiskan untuk merawat Maria Teressia. Malam hari di Roma menjadi indah ketika lampu lampu perumahan menyala dengan lilin, mayoritas keluarga dari setiap warga Roma memiliki tradisi untuk makan malam dan berdo’a  bersama. Perapian dalam sebuah keluarga menjadi ciri tersendiri setiap malam, tidak sedikit keluarga yang memiliki perapian di rumahnya. Meskipun Lorenzi memiliki rumah pamannya untuk ditempati, namun dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk hidupnya sebagai biarawati di Gerejanya. Sebagai seorang biarawati muda, Lorenzi menyimpan seorang insan dalam hatinya, laki laki pujaannya, Marcolini Paulo, Lorenzi biasanya memanggilnya Paulo. Baru baru ini, Paulo bekerja di tempat kelahiran Lorenzi, di Venezia. Pekerjaannya tidaklah hebat, hanya sebagai tukang sekoci di kanal kanal Venezia, terkadang menjadi seorang buruh pandai besi dan membantu rekannya membuat topeng topeng Venezia. Akan tetapi, Paulo memiliki hati yang bersih, bijak dan tegas. Tapi kelemahannya adalah emosi dari hati yang sukar untuk bersabar. Paulo adalah seorang pemuda seumuran dengan Lorenzi, dan dulu pernah menuai hidup sebagai biarawan bersamanya di Gereja yang sama. Tanpa alasan yang jelas, Paulo meninggalkan pekerjaannya itu, Lorenzi bisa melihatnya hanya jika dia kembali ke Venezia. Sulit sekali Lorenzi menemuinya, bahkan ketika menemuinya dia selalu menyembunyikan wajahnya dan kabur dari mata Lorenzi.
                Keesokan harinya, lonceng Maria Teressia berbunyi, Lorenzi hendak membuka matanya. Wanita manis ini bangun dan mengambil segelas air putih, namun dia teringat akan Paulo. Kemudian dia membaca kitabnya di ruang utama gereja, disana terdengar olehnya tanpa sengaja sebuah percakapan kecil dari dua biarawan lain di belakang Lorenzi.

“ Anna, kau sudah tau sebuah berita ? “
“ berita apa, Minna ? “
“ ada berita bahwa konflik gereja sedang membara hari ini… “
“ kenapa ? bagaimana bisa ? ada apa ? “
“ para kardinal belum memutuskan kepausan yang baru “
“ kenapa ? “
“ ada sejumlah perbedaan pendapat antara Byzantium dan Roma “
“ dari mana kau mengetahui itu ? “
“ bapak Giovanni, rekan dekat ayahku “
“ kau tahu, ini akan menghambat perebutan Konstantinopel “
“ mungkin memperlemah, tepatnya “
“ lalu, bagaimana ini ? “
“ kabar darinya lagi, bahwa kaum orthodox dan para Kardinal Constantin akan berdo’a bersama, di Roma dan Konstantinopel “
“ kita hanya bisa berdo’a, itulah bantuan kita “


                Percakapan ini terpotong dengan suara pintu terbuka karena hadirnya jema’ah yang masuk untuk berdo’a. muncul dalam pikiran Lorenzi, inikah yang membuat Paulo meninggalkannya baru baru ini ? Lorenzi tahu bahwa Paulo memang orang yang sukar dalam bersabar, lalu terpikir olehnya lagi bahwa Paulo kemungkinan pernah mendengar berita ini sebelumnya. Munculah niat dalam hati Lorenzi untuk mengirim surat padanya. Petang hari memimpin matahari untuk kembali istirahat, dan aktivitas di sekitar Maria Teressia mulai berkurang, orang orang Roma mulai menyalakan kembali lilin lilinya dan menghangatkan keluarga dengan perapian mereka. Lorenzi mulai menulis suratnya.

                “ Paulo, bagaimana kabarmu di Venezia ? beratkah pekerjaanmu sekarang ini ? aku merindukanmu, Paulo tersayang. Aku penasaran kenapa setiap kali aku kembali ke Venezia untuk mencarimu, kau selalu lari dari mataku ? apa masalahmu disini ? aku membutuhkanmu, dan alangkah baiknya jika kau menerima kehadiranku disana, ingatlah, Paulo Venezia adalah tempat kelahiranku, kau tidak bisa lari dari pandanganku selama kau tetap menginginkan bekerja disana.
                Marcolini Paulo, jika kau mendengar berita konflik gereja, maka kemarilah, kembalilah, dan bersabarlah, ini akan berakhir secepatnya. Kita akan berdo’a bersama di Konstantinopel. Aku mohon kau membalas suratku ini, dan tetapkan waktu dan tempat untuk kita saling bertemu, ini Lorenzi, seseorang yang menyayangimu. “



                Lorenzi melipat dan membungkus surat itu kemudian mengecapnya dengan lilin merah, Lorenzi berniat untuk mengirimnya esok hari. 

                Tiga hari kemudian, datanglah surat dari Paulo, Lorenzi sangat gembira melihat kertas dari kekasihnya ini, seolah surat dari Paulo adalah sebuah rencana yang hampir dibatalkan karena sesuatu hal. Lorenzi langsung berhenti dari pekerjaan menyapunya, kemudian pergi ke lantai atas dan duduk di salah satu pagar balkon. Dibukalah surat itu, dan dibacanya

                “ Lorenzi Da Venizza tersayang, ini aku Marcolini Paulo, aku sangat berterima kasih kau mengirim surat padaku. Sulit untuk membicarakan ini melalui surat, aku menebak bahwa kau berharap kita masih bisa bicara baik baik kan ? kutunggu kehadiranmu besok di Venezia, kanal dekat pandai besi Maurinzimo, terima kasih Lorenziku sayang. “
                Surat ini begitu pendek, Lorenzi terheran, namun dia tahu ada maksud panjang dari surat balasan ini. Begitulah, sejak dia mendapat surat balasan itu, sangat bersyukurlah hatinya karena seseorang yang pernah tiba tiba tidak peduli bisa diajak bicara dengan baik. Dengan hati yang tenang, Lorenzi duduk dan membaringkan setinggi punggung hingga kepalanya pada tembok samping pada pagar balkon, dan memandang dengan penuh harap, ke gemerlap malam Roma yang epik ini, begitu indahnya Roma di malam hari melalui pemandangan balkon Maria Teressia. Wajahnya kemudian berseri seri dan senyum kecil, tangan kanannya digerakan sesuai pola salib atas hati yang bercampur gembira ini.
               
Venezia 1453

                Lorenzi dari Roma bergegas mengganti pakaiannya dan membawa beberapa barang bawaan dari Maria Teressia. Kemudian dia pergi ke tempat pamannya, Alberto untuk menyimpan beberapa barang miliknya yang dibawanya dari gereja. Berdasarkan hati yang puas dan pikiran yang ambisius untuk menemuinya, namun perasaannya seolah diaduk perasaan tegang juga. 

“ paman Alberto, aku akan pergi sebentar ! “
“ pergi ? kemana ? “
“ aku akan pergi ke Venezia ? “
“ kau rindu orang tua mu ? “
“ bukan, hanya saja aku akan menemui seseorang “
“ baiklah, pergilah, hati hati “
“ aku mohon maaf telah meninggalkan barang barangku disini “
“ ya, silahkan tak apa, nak ini bawalah “
“ hanya sementara, aku berjanji… apa ini ? “
“ sebagian tabunganku… ya, hati hatilah “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar