Minggu, 25 Agustus 2013

Konstantin bagian 1.3


             Kereta kuda segera dipanggilnya, naiklah Lorenzi ke dalam kereta kencana indah itu. Warnanya hijau tua, dan ada pernak pernik perak di sisi sisi pintunya, juga lampu gantung pada atap di bagian depan dan belakangnya. Ditarik oleh dua kuda dan seorang pengendaranya.  Dimulailah perjalanan menuju kanal Maurinzimo, sepanjang perjalanan tapal tapal kuda melewati berbagai tekstur jalanan, mulai dari lantai batu, tanah, rerumputan hingga kembali pada lantai batu. Tenaga kuda terasa penuh semangat tiada lelah, sang pengendara juga terlihat semangat menembus udara segar menuju Venezia, udara di perjalanan berhembus di atas rambut pengendara lalu berkeliling di dalam interior kereta dan menyegarkan wajah Lorenzi. 
                Hampir setengah hari berlalu dan akhirnya kereta kuda membawanya hingga ke salah satu penjuru Venezia. Sore hari di Venezia tak kalah indah dibandingkan jam yang berjalan menuju malam hari di Roma, para pedagang dan pandai besi melakukan aktivitasnya di sore hari. Tukang tanaman menata tumbuh tumbuhannya serapih mungkin. Penjual buah buahan hampir tidak ada waktu tersisa untuk mengistirahatkan tangan tangannya yang mengelap dan membersihkan dagangannya. Venezia sore hari menunjukan indahnya kanal kanal dengan sekoci sekoci panjang yang di kayuh dengan tongkat tinggi oleh pengendaranya. Gedung gedung yang berwarna warni, genting genting atap merah, vas vas bunga  bercampur dengan kanal kanal yang tersisipkan di antara mereka. Pemandangan ini tersorot cahaya matahari yang hendak tenggelam di barat, semuanya menjadi berwana jingga halus tersentuh oleh cahayanya. Ini akan menjadi sebuah lukisan mahal jika ada seseorang yang rela melukis dari udara, bagaimana pun caranya. Betapa senangnya kembali ke Venezia, pikir Lorenzi. Wanita epik ini kembali ke tempat dia lahir dan menghirup udara segar Venezia di sore hari, untuk beberapa saat. Kemudian dia memanggail seorang tukang sekoci untuk mengantarkannya ke kanal Maurizimo. 

“ buon giorno, signora, apa yang bisa saya bantu ? “.
“ bisa antarkan aku ke pandai besi Maurinzimo ? “.
“ dengan senang hati, signora “
“ gracie… “

                Sudah lama sekali sejak Lorenzi pindah ke Roma menjadi biarawati, tidak merasakan santainya laju sekoci Venezia. Merasakan guncangan pada sekoci lama saja rasanya menjadi sesuatu yang asing, dan perlu dia kenali lagi. Sebuah pemandangan yang berbeda lagi kali ini, dilihat dari permukaan kanal akan menjadi sebuah lukisan yang tak kalah dengan pemandangan Venezia dari genting rumah. Dua puluh menit berlalu dan salah satu dermaga perahu kecil membuat sekocinya berhenti, sampailah Lorenzi di hadapan pandai besi Maurinzimo. 

“ sudah sampai, signora ! “
“ gracie, signor… ini untukmu “
“ mucho gracie, signora ! … eeh, signora… kuharap kau menikmati Venezia ! “
“ si, signor “


                Lorenzi harus berpisah dengan tukang sekoci yang ramah itu, di hadapan wajahnya, inilah tempat yang dijanjikan Paulo. Tapi kemana Paulo ? tidak terlihat batang hidungnya. Meskipun belum terlihat setidaknya Lorenzi memiliki waktu untuk membuka barang barang kemasannya dan menyimpan rapi di suatu tempat, di rumahnya di tepi kanal. 
                Rumah ini adalah rumah milik ibunya, dan disinilah dahulu Lorenzi lahir, bersama dengan ayah ibunya. Namun sekarang, Mario, ayahnya sudah tiada dua tahun yang lalu dan sekarang ibunya sudah berencana menikah lagi dengan seorang pria yang berumur setengah lebih tua dari ibunya, Bartolomeo Florenzini, seorang bangsawan dari Florencia. Meskipun kaya, namun kekayaannya tidak bisa meningkatkan kualitas pribadinya, tapi hanya mengangkat keahliannya dalam membujuk dan menipu. Wajahnya keras, walaupun sudah tua tapi otot pipinya masih mantap, dan daging pada dahinya melambangkan orang yang tegas, matanya yang menjorok ke dalam dan kelopaknya menutupi setengah matanya adalah lambang orang sombong bagi kepribadian Florenzini. Hidungnya mancung seperti bangsa moor, mulutnya yang tebal di kelilingi kumis dan janggut hitam yang bercampur dengan bulu bulu tua. Badannya tegak dan agak gemuk. Bartolomeo adalah salah satu teman Mario, teman sepekerjaannya, Mario adalah seorang bangsawan juga. Namun semenjak urusannya dengan Florenzini menuai untung yang besar, Florenzini melancarkan trik trik kebohongannya. Sehingga harta Mario diraupnya dan ibu Lorenzi tidak mewarisi apapun setelah kematiannya. Sekarang Florenzini memiliki ambisi untuk menggaet ibu Lorenzi. Dengan mengatakan bahwa Lorenzi akan mengambil kembali keuntungannya dan Lorenzi bisa menikah dengan putra sulungnya, Luciano Da Florenzini. 
                Tepat ketika Lorenzi membuka pintu, ibu Lorenzi sedang menangis terisak isak dan berlutut di kaki Bartolomeo. Mengetahui hal buruk ini, Lorenzi langsung menjatuhkan bawaanya dan mengangkat ibunya dari kaki Bartolomeo.

“ Ibu berdirilah, Florenzini, kau lagi rupanya. Apa yang kau lakukan pada ibuku !? “.
“ aku hanya memabawanya pada bisnis “.
“ bisnis apa !? jelaskan ! “.
“ aku bisa mengembalikan keuntungan pada ibumu atas nama warisan ayahmu, Mario “.
“ lupakanlah itu sudah dua tahun yang lalu ! “.
“ lupakan ? ibumu yang seharusnya melupakannya, nak ! “.
“ tidak ! ibu apa yang kau lakukan ? “.
“ ibu hanya ingin mengambil hak ayahmu, nak ! “.
“ Ibu mu harus menikah denganku demi warisan ayahmu, eh Lorenzi ! “.
“ tidak perlu ! sudah lepaskanlah hartanya, biarkan si tua Bangka ini memilikinya ! “.
“ tapi, nak itu milik ayahmu ! “.
“ tidak, Ibu jangan ! “.
“ dan kau, putri Mario ! kau bisa mendapat keuntungan dari anakku, Luciano “.
“ si anak tamak itu !, aku tidak akan pernah rela mencium nafasnya sekalipun dia bernafas lavender ! “.
“ coba saja menghindar dari kehidupan kami, hidupmu akan selalu rugi ! “. seraya Florenzini menarik lehernya, nafasnya yang panas layaknya nafas banteng matador itu membuatnya merinding. Lalu dijatuhkan olehnya Lorenzi ke lantai.
“ mahluk macam apa kau ini, Florenzini ! Ibu, sudahlah, berhenti menangisnya ! kita seharusnya menangisi hidup di hadapan Tuhan, bukan menangisi harta di hadapan penipu ulung ini ! “.
“ bisnis adalah bisnis, putri Mario “.

“ pergilah dari sini ! atau kuhunjam pisau ini ke jantungmu ! “. Dia langsung mengambil pisau yang terletak di meja, tergeletak di sebelah sebuah apel.
“ Lorenzi, hentikan ! “. Ibunya berusaha memperingatkannya sambil menangis keras seraya merangkak di lantai, seolah kakinya sudah lumpuh karena melihat perseteruan ini.
“ tidak perlu cara kasar, Lorenzi, kau ini wanita cantik, lemah, lembut dan… murahan ! “. Florenzini senyum mengejek seraya berjalan menuju pintu.
“ dasar kau iblis istana ! lepaskan kalung salib itu dari lehermu ! “. begitu pintunya ditutup pria tua itu, Lorenzi melemparkan pisaunya dan mengenai pintu.
               
                Seraya ibunya menangis di lantai dengan tubuh tertelungkup, mata Lorenzi tidak kuat menahan derita akan keinginan ibunya ini. air matanya kemudian tiba tiba bercucuran, membasahi kedua belah pipi cantiknya. 
                Beberapa saat kemudian, setelah isakan tangis ibunya mereda, Lorenzi membawakannya segelas air putih segar, untuk meredakan hati ibunya yang masih merasakan panas. Saat itulah, Ibu Lorenzi merasakan kebenaran perkataan anaknya, Manusia seharusnya menangisi hidup di hadapan Tuhan, bukan menangisi harta di hadapan seorang yang tamak.

Konstantinopolis 1453

                Desir ombak di selat Bosphorus membangunkan Suleyman dari tidurnya, Adzan berkumandang pada dini hari, Suleyman bergegas bangun dan memaksakan diri itu berdiri, meskipun udara sangat dingin, tapi kewajiban adalah kewajiban. Sedikit membasahi mulutnya dan mencuci muka lalu menjalankan shalat dini hari. Satu jam berlalu, matahari muncul dari timur membawa cahaya segarnya, dan memulai pekerjaannya menyinari Eropa dan Asia dari timur ke barat. Demi makanan dan minuman untuk hidupnya Suleyman mulai kembali pada pekerjaannya, semua pekerjaannya dijalaninya dengan kesungguhan hati, karena Suleyman sewaktu waktu harus menggantikan Ibrahim yang sudah mulai menua. Tangan tangan jantannya kembali pada kayu kayuan dan mulai menuai nasib dengan palu dan paku di genggamannya. Pesisir putih yang berselimut desiran ombak menjadikan selat Bosphorus terlihat ramah dan udaranya yang sejuk dari langit lepas bercampur menjadi satu di garis cakrawala. menunjukan bahwa inilah kebesaran Tuhan.

“ Allahu Akbar “. Sambil menghirup udara pagi yang sejuk nan segar di pantai, hati kecil Suleyman berkata.

                Pikiran dan hati Suleyman masih ditakuti rasa khawatir, hatinya masih bertanya tanya kapan perang ini akan dimulai, besok ? lusa ? atau bahkan hari ini ?. satu hal adalah sebuah pelajaran yang Suleyman dapat dari rasa penasarannya sendiri, yaitu, kita sebagai manusia tidak pernah tahu menahu tentang hari esok, sekali pun kita berdo’a atas rasa penasaran yang tinggi untuk melihat masa depan, jawabannya selalu “tidak”, dan hanya Tuhan yang tahu, hanya Tuhan yang menghendaki. 
                Matahari mulai naik menuju seperempat belahan bumi, tetap saja hati Suleyman terikat rasa khawatir. Tidak lama kemudian, Ahmet datang, dan duduk di sampingnya. Menyandarkan punggungnya di sisi kiri lambung kapal kecil.

“ aselamu aleikum, kardesimi “ .
“ waleikum selam, ya Ahmet  “.
“ bagaimana pekerjaanmu hari ini ? “.
“ seperti biasa, tidak ringan, tidak juga berat “.
“ elhamdulillah, tapi wajahmu, kau terlihat khawatir hari ini. ada apa, kawanku ? adakah salah satu tulangmu yang sakit ? “.
“ tidak, Ahmet hanya saja … “
“ apa ? “
“ hanya saja, aku terbayang akan perang dahsyat yang akan terjadi, lihat kerajaan Ottoman dan seluruh penghuni Topkapi Sarayi sedang menyusun rencana untuk menaklukan Konstantinopolis dan kaum Kristian kekaisaran Orhan sedang menggabungkan kekuatan Yunani, Serbia, Roma dan Polandia untuk Konstantinopolis juga “.
“ itu akan menjadi kabar bagus untuk Ottoman ? “
“ tapi tidaklah mudah, untuk mencapai kemenangan “
“ ya, aku tahu itu “.
“ Ahmet, aku ingin sekali merasakan jihad di jalan Allah “.
“ kau bisa, kita shalat bersama, kitab berdo’a bersama, bekerja dan membanting tulang bersama untuk hidup dan keluarga kita “.
“ maksudku selain itu, Ahmet, jihad yang benar benar jihad “.
“ apa maksudmu ? “.
“ aku akan ikut perang “
“ kau gila, Suleyman ! “
“ tidak, aku akan menjadi tentara Ottoman, aku akan ikut kesatuan Yeniseri “.
“ kau yakin, Suleyman ? “
“ ya, demi islam, demi Ottoman “

                Ahmet menatapnya dengan rasa heran, Suleyman terus mengelap belatinya tanpa henti seraya melamunkan hal itu. Beberapa detik kemudian, entah apa yang merasuki Suleyman, dia lekas berdiri dan meninggalkan Ahmet begitu saja. Betapa herannya Ahmet, dia yang biasa berkepribadian sopan dan ramah, dan sederhana juga, tapi sekarang berbalik seratus delapan puluh derajat menjadi ambisius. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar