Minggu, 25 Agustus 2013

Konstantin bagian 1.4

Venezia 1453

                Ibu Lorenzi masih terngiang dalam pikirannya akan perkataan Bartolomeo, bagaimana nasibnya ? jika dia menikah dengan Florenzini, maka hartanya akan kembali namun hidupnya akan menderita, dan jika dia tidak menikahinya, maka dia tidak dapat warisan Mario dan Florenzini akan terus mengancamnya dan anaknya. Namun keteguhan hati dan kesabaran seorang biarawati gereja Maria Teressia ini bisa membantu mematahkan rasa takut ibunya, Lorenzi selalu berfikir bahwa hanya Tuhanlah yang mengatur hidupnya, bukan seorang bangsawan. Itu adalah kata kata yang diutarakan untuk mengalahkan kebingungan ibunya. Akhirnya Lorenzi bertemu dengan Paulo ditempat yang dijanjikan, di pandai besi Maurinzimo. Disana terlihat Paulo sedang mendinginkan pedang terhunus yang baru diangkat dari bara ke dalam ember berisi air. Paulo berbicara sedikit dengan rekannya kemudian datang menghampiri Lorenzi.

“ Lorenzi “.
“ Paulo “.
“ aku merindukanmu, Paulo “.
“ badanmu tidak apa apa ? “.
“ tidak, tidak apa apa, jangan peluk aku, Lorenzi, badanku penuh debu bara “.
“ tidak apa apa “.
“ mari kita ke tepian kanal “.


                Paulo membawanya menembus udara sejuk di lantai lantai batu jalan di tepi kanal, tapi kali ini perasaaan Lorenzi diselimuti rasa penasaran yang amat sangat. Ada apa ini ?. meskipun jantung dan kepala dirasuki udara pagi yang segar di Venezia, namun pikirannya tidak menjadi tenang layaknya kepala dan jantungnya. Paulo membawanya pada salah satu balkon. Sekali lagi pemandangan di Venezia yang sebelumnya Lorenzi telah harapkan akan lukisannya ini, akhirnya khayalan Lorenzi mencapai kenyataan. Begitu indahnya pemandangan sebagian kecil genting genting atap dari bangunan bangunan yang beraneka ragam warnanya, dan juga kanal kanal yang menyisip di antara mereka. Seklias Lorenzi memandang indahnya lukisan kehidupan nyata ini, Paulo membungkukan badannya dan menopang di salah satu pagar balkon. Kemudian Lorenzi bertanya.

“ Paulo, ada apa kau membawaku kesini ? “.
“ baiklah, Lorenzi, ini saatnya aku menjelaskan padamu… “.
“ jelaskanlah “.
“ sebenarnya aku… aku menghindari konflik gereja di Maria Teressia “
“ itukah ? “
“ ya, Lorenzi, ya… “
“ bersabarlah, Paulo… ini akan segera… “.
“ akan segera apa !? “.
Paulo langsung memotong balasan Lorenzi.
“ akan segera berakhir… “.
“ ya, aku tahu, Lorenzi, tapi kapan !? “.
“ sebentar lagi, Paulo, sebentar lagi… “.
Mulutnya mulai kaku karena menahan tangis.
“ kau bisa menghitung berapa hari lagi ini akan berakhir ? “.
“ tidak, tapi… “.
“ sudah cukup, Lorenzi, aku muak dengan ini ! kesabaranku sudah habis ! “.
“ Paulo, aku mohon ! “. Lorenzi tiba tiba meneteskan air mata.


                Selain karena konflik gereja abad lima belas ini, Paulo mengetahui bahwa dia akan menikah dengan seorang anak bangsawan, Luciano, yang dikenalnya sebagai anak yang tamak, seperti yang Lorenzi ketahui. Paulo mendengar ini karena pertama kali, Paulo datang ke rumah ibu Lorenzi, ibunya menjelaskan semuanya, pernikahan, warisan dan bisnis ini.

“ selain itu, kau juga akan menikah dengan anak bangsawan, bukan ? “. Paulo memalingkan pandangannya ke arah bangunan bangunan Venezia.
“ Luciano si tamak itu !? tidak, Paulo, tidak akan pernah “.
“ tidak pernah ya ? sekarang jelaskan padaku bagaimana ibumu menerima bisnisnya “.

“ kau… aku tidak pernah mengira pikiranmu ternyata sependek ini ! “. Air mata Lorenzi bertambah banyak mengalir di kedua pipinya.
“ apa kau bilang !? … ya, Lorenzi aku memang bodoh, ya, memang… sekarang pergilah dari pandanganku, Lorenzi ! “. Paulo memutar balikan pandangannya ke arah Lorenzi.
“ kau… kau tidak tahu bagaimana ibuku menangis terisak isak di bawah lutut Florenzini si iblis Florencia  itu ! “. Lorenzini memusatkan telunjuknya pada hidung Paulo sehingga menyentuhnya.
“ kau… ibumu… menangis terisak isak ? “.
“ ya, kau tidak lihat kenyataannya… sekarang, kau masih kekasihku, kau masih orang yang kukenal baik dan kau masih malaikat bagiku di dunia yang nyata ini, yang seharusnya melindungiku ! “.

“ benarkah itu, Lorenzi ? “. Paulo berfikir dengan wajah muram sebentar.
“ dimana perlindunganmu !?  dimana cintamu itu !? kau melindungiku, artinya kau melindungi ibuku juga, tubuhku ini adalah salah satu anggota tubuh ibuku ! “.
“ sudahlah, Lorenzi, cukup, jauhkan nafas kemarahanmu itu dari wajahku, baiklah aku mengerti sekarang ! “. Paulo meredakan kemarahannya.
“ terima kasih Tuhan, Paulo, aku masih mencintaimu ! ”.
“ Lorenzi, bagaimana jika kita lari dari Itali ? “. Paulo tiba tiba terlintas di pikirannya sebuah ide.
“ tapi kemana ? “. Air mata Lorenzi pun dihapusnya oleh jari jarinya yang indah.
“ Ke Konstantinopolis,… bawa ibumu juga, kita bisa selamatkan ibumu “.

                Tiba sosok pria seumuran Paulo datang, wajahnya selalu terlihat santai, halisnya yang tebal dan matanya tertutup setengah oleh kelopaknya, kepalanya selalu mendongak dan matanya tertuju pada jalan. Itu gambaran seorang yang sombong dan tamak, pria ini adalah Luciano Da Florenzini, putra Bartolomeo. Luciano, mengenakan baju seperti tentara Roma, dia adalah mantan perwira di Roma. Pakaiannya selalu sejenis, agar menurutnya dia tetap terlihat tinggi di antara orang orang Venezia. Benar benar orang yang tamak.

“ buon giorno, buon giorno, Marcolini Paulo, si pandai besi “.
“ pandai besi masih lebih baik dibandingkan orang tamak sepertimu, Florenzini ! “.
“ kau hanya seorang pria miskin, tidak berpendidikan dan tidak punya masa depan ! “.
“ aku menyusun masa depanku disini, di hati dan pikiranku, dan Tuhan bersama ku, masa depanmu akan hancur dengan ketamakanmu itu ! “.
“ Lorenzi, kemarilah, jauhi pria ini ! “.
Luciano memalingkan pandangannya ke arah Lorenzi.
“ Lorenzi, mundurlah ! “.
“ kau menantang maut rupanya, Paulo !, ini pedang buatan tanganmu, kau gunakan pedangku ! “.
“ kau rupanya masih memiliki rasa hormat, mari ayunkan pedang ! “.
“ mari menari ! “.

                Dimulailah perseteruan antara si kaya dan si miskin, bunyi dentingan pedang berbenturan, menarik perhatian dari jalanan dan kanal Venezia ke atas balkon. Paulo menangkis tebasan tebasan dari Luciano, kemudian pedang saling beradu, tangan tangan kedua pria ini saling mendorong. Luciano mengitari langkahnya dan membelakangi pagar balkon, tebasan pedang beradu lagi. Ujung pedang Luciano menyentuk pipi Paulo, kemudian menyayatnya.  Paulo terganggu rasa sakitnya, lalu emosi yang tinggi, Paulo mematahkan pedangnya sendiri yang didenggam Luciani 

“ wah, menakjubkan ya !... selain pandai besi ternyata kau ahli dalam mengayunkan pedang… tapi lihat, pedangmu adalah buatan tanganmu yang murahan itu, dan itu pedangku yang kau genggam, berlapis baja berkualitas… kau… sekali pandai besi tetaplah pandai besi “.

                Dengan tenaga penuh dia mendorong Luciano hingga punggunnya mendobrak pagar balkon dan mereka berdua jatuh ke jalanan. Lorenzi yang duduk tertelungkup dan menutup telinganya itu langsung berdiri dan melihat keadaan di bawah, dia ingin ke bawah melalui tangga, namun pintu dihalangi dua tentara Luciano yang menghunuskan pedangnya. Sementara di bawah, Luciano merasakan benturan punggungnya pada lantai, dan Paulo meringis kesakitan akan luka di lututnya.

“ Lorenzi, melompatlah ! “. Paulo berteriak dari bawah.
“ aku tidak bisa ! “.
“ melopatlah, aku disini ! “.


                Dengan adrenalin yang terpacu, Lorenzi berhasil turun melompat ke pangkuan Paulo, lalu mereka kabur entah kemana dari mata Luciano. Luciano mencoba menembaknya dengan crossbow rekannya, namun gagal. 

                Kaki Lorenzi dan Paulo pun menapak di tempat aman.

“ Lorenzi, ini saatnya “.
“ kita harus menjemput ibuku dulu ! “.
“ baiklah setelah itu, kau kubawa bersama ibumu menjauh dari iblis itu !, ke Konstantinopolis… “.


                Dua manusia yang menderita akan kejaran iblis bangsawan ini akhirnya berhasil pergi dari tanah Eropa, dan berlayar menuju Konstantinopolis….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar