Minggu, 25 Agustus 2013

Konstantin bagian 1.1

Konstantinopolis, 1453

                627, Medinna. Nabi Muhammad S.A.W pernah ditanya oleh salah satu sahabatnya mengenai penaklukan oleh kaum muslim. Rasulullah berkata “ suatu saat nanti bangsa muslim akan membuka kota kota kaum Nasrani…”, kemudian sahabat bertanya “ maka kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu ? Rumiyya atau Konstantiniyya ? “. Kemudian Rasulullah S.A.W menjawab “ Konstantiniyya akan dibuka terlebih dahulu, suatu saat nanti sungguh Konstantin akan ditaklukan oleh seorang pemimpin, yang sebaik baik pemimpin adalah penakluknya dan pasukannya yang sebaik baiknya pasukan.
                1453, Turki berada dibawah pemerintahan Byzantium Roma yang dipimpin oleh kaisar Konstantin VIII atau pangeran Orhan.  Kekaisaran Konstantin membentang sepanjang pantai Eropa sampai selat Bosphorus bahkan meliputi sebagian besar asia kecil, dan Konstantinopel adalah hasil daerah perluasan bangsa Roma dengan nama Kristiani. Meskipun kaisar Konstantin menghidupi nama Kristus di Turki, namun Islam masih berdiri kokoh dalam naungan pemerintahan Sultan Mehmet II.  Sultan Mehmet II adalah penerus ayahnya, Sultan Mehmet, cucu dari Sultan Murat II. Konstantinopolis nyaris jatuh ke tangan Islam pada masa pemerintahan Sultan Murat II. Sang Sultan sudah kelelahan dengan konflik, maka beliau memberikan tahtanya pada Mehmet II, setelah kematian putra tercintanya, Alladin. Sang wazir agung, khalil Pasha menaikan Sultan Murat kembali pada tahtanya semenjak adanya ancaman pasukan salib. Namun sang sultan gugur dalam penaklukannya, beliau tewas di tangan tentara salib. Anak anak dan cucu cucunya, yang salah satunya adalah Sultan Mehmet atau rakyatnya biasa menyebutnya dengan Sultan Fetih meneruskan pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam demi kehidupan rakyat Turki dan berdirinya kerajaan Osman, atau Utsmaniya. Orang Eropa menyebutnya dengan naman The Othman atau Ottoman Empire.  
                1453 Konstantinopolis, hiduplah satu keluarga sederhana yang terdiri dari ayah dan ibu dan seorang anak, ini adalah keluarga Erdogan. Seorang ayah, Erdogan beperan penting dalam keluarganya dalam mencari nafkah dan pekerjaannya tidaklah mudah namun terhormat, dia bekerja sebagai pandai besi dan pembuat pedang kerajaan Ottoman di Topkapi Sarayi, dan istrinya, Guldeyna bekerja menjual buah buahan di pasar, di pesisir teluk Golden Horn. Dan anak dari kedua pasang orang tua itu bernama Suleyman, pemuda sopan dan cenderung mudah memahami permasalahan ini berumur 18 tahun tinggal bersama sepupu perempuannya, Farhat yang menginjak 23 tahun. Suleyman tidak sekolah, tapi dia bekerja membuat sekoci sekoci dan mengambil bagian pembuatan kapal, di pesisir Selat Bosphorus. Farhat berada jauh darinya, karena dia bekerja bersama Guldeyna menjual buah dan sayuran.  Suleyman bekerja bersama rekan rekan dekatnya, Ahmet,seumuran dengan Suleyman berbadan kurus tinggi berambut tipis, wajahnya putih namun kusam, matanya agak sipit dan halisnya lancip namun tebal pada pangkalnya, hidungnya seperti orang Arab dan bibirnya tipis, dagunya agak kotak dan pipinya pirus. Sikap Ahmet agak keras kepala namun dia bisa mengenal hal yang baik atau buruk bagi rekan rekannya. Gizma, lebih muda dari Suleyman, matanya besar dan halisnya coklat tebal, bola matanya biru dan hidungnya membengkok, berkulit putih. Bibirnya agak tebal. Rambutnya yang hitam diikat kebelakang. Gizma bersikap ramah namun memiliki sifat sensitive, terkadang Gizma memiliki kekhawatiran berlebihan ketika mendengar berita yang menurutnya mencemaskannya. Berki, rekan Suleyman yang memiliki umur di antara umur Ahmet dan Gizma. Berki memiliki mata besar dan bola matanya coklat terang, halisnya tebal. Rambutnya hitam agak berantakan dan panjangnya hingga menyentuh lehernya, hidungnya lurus tajam dan dagunya lancip. Berki adalah anak paling ramah di antara keempat temannya, selalu menyambut ramah siapa pun, dan sifat itulah yang sangat dicintai teman temannya. Emina, adalah saudari Gizma, wajahnya mirip dengan gadis Eropa, rambutnya pirang, menjulur panjang sampai bahu. Halisnya tipis dan matanya biru gelap, dan hidungnya lurus tajam, bibirnya juga tipis dan dagunya seperti Berki. Meskipun dia sadar terkadang dirinya menarik perhatian, namun Emina tetap menjaga penampilannya dengan tudung dan cadar hijau menutupi setengah wajahnya dan badanya tertutup dengan kain rapi nan panjang, itulah sikap yang sering menjadi kebiasaannya . Mereka berlima bekerja di bawah naungan mantan tentara Murat, seorang pria paruh baya bernama Ibrahim. Sikapnya baik, rendah hati, berhati emas dan tegas namun karena ketegasannya terkadang Ibrahim menjadi keras kepala dan kemarahannya bisa bertahan lama. Rambut dan janggutnya yang lebat sudah memudar, akan tetapi badan dan wajahnya terawat sebab mengandalkan kesehatan berwudhu dan jiwa juga pikirannya selalu sehat dengan berdo’a dan shalat kepada Allah yang selalu tepat waktu. Dulu Ibrahim menjabat sebagai tentara Ottoman, dia adalah salah satu dari tentara Murat yang selamat dari penaklukan pasukan salib. Ibrahim pernah dijuluki sebagai “perisai Edirne”, karena ketangguhannya dalam pertempuran dan kelincahannya melangkah dengan membawa tameng, namun julukan itu sirna ketika dia dan kelompoknya kalah bersamaan dengan gugurnya Sultan Murat II. Suleyman hari ini bekerja bersama Ibrahim membuat potongan potongan kayu jati, Ahmet mendapat bagian menyusun rankaian kapal kecil bersama pekerja lainnya, Gizma mendapat giliran memasang layar bersama Emina dan pekerja lain yang juga bercampur antara remaja laki laki dan perempuan. Pekerja pekerja remaja laki laki itu adalah pelaut dan akan berlayar menuju Venesia, untuk berdagang rempah rempah di jalanan Venesia di tepian kanal kanalnya. Emina  dan Gizma bisa jadi akan ikut mereka suatu hari, tapi entah kapan, pikir Emina. Teluk Golden Horn terlihat indah pada sore hari dan pesisirnya indah ketika matahari membuat langit dan air laut menjadi jingga ketika cahaya matahari mulai pudar, tenggelam di cakrawala, pesisir Selat Bosphorus dipenuhi dengan pedagang mewarnai tepian jalanan sepanjang jalan di dekat pesisir. Namun pedagang yang berwarna itu semakin lama menghilang seiring dengan tenggelamnya matahari, dan sebagian besar kapal kapal nelayan pun pulang ke tempat asalnya. Pada saat malam, keempat teman Suleyman sudah pulang, namun dia masih berada di tempat Ibrahim, duduk melamun dan mengasah sebuah belati. Ibrahim yang terheran malam itu, bertanya padanya.

“ Suleyman, kau tidak pulang ? atau kau baru saja akan pulang ? “.
“ ya, aku baru saja akan pulang … “.


                Namun Suleyman sepertinya tidak sepenuhnya mendengarkan Ibrahim, dan terlihat olehnya Suleyman melamun, kemudian Ibrahim pun memanggil namanya dengan nada menghentak.

“ Suleyman ! “.
“ ya !, bey Ibrahim, ada apa ? “.

                Suleyman langsung terbangun dari lamunannya, dengan jawaban yang terpatah patah, Suleyman menjawab.

“ kau melamun ! apa yang kau pikirkan, hai putra ‘pisau Ottoman’ ?”.
“ kau… ternyata masih ingat julukan ayahku…aku..aku…aku masih takut akan tentara Byzantin, aku dengar kabar secara diam diam di Galata, tahun ini uskup Roma dan Byzantin akan mengadakan pertemuan untuk sebuah persekutuan. Kau tau itu artinya, effendim “.
“ ya, akan adanya perang dahsyat, perebutan kembali Konstantinopel untuk Kristiani“.
“ apa yang harus aku lakukan, dimana aku harus berlindung ? “.

                Ibrahim menemani suleyman di pesisir Bosphorus, duduk sambil memandang kilauan kilauan redup kapal yang masih berdiri di atas lepas pantai. Desir ombak Bosphorus mengalir seperti ular melalui lepas pantai dan berakhir dengan menyentuh bibir pesisir.

“ dimana harus  berlindung… berlindunglah di bawah naungan Allah… jika kau percaya bahwa Allah melindungimu, niscaya Dia akan berada di hatimu “.
“ bagimana caranya ? sesederhana itukah ? ”.
“ kau, begitu pula aku memeluk islam, kau pasti percaya Allah “.
“ evet, effendim “.
“ caranya ? mintalah perlindungan dari-Nya, sebaik baiknya kau berdo’a akan menjadikan sebaik baiknya perlindungan untukmu, aku tidaklah seperti Rasulullah Selallahu Aleihi Waselam. Tapi percayalah aku, untuk percaya pada Allah ! “.
“ Selallahu Aleihi Waselam…”.
Suleyman mengatakan nama Selallahu Aleihi Waselam bersamaaan dengan Ibrahim.
“ endiselenme…sekarang pulanglah, kardesimi “.

                Kemudian, bahu Suleyman mengangkat bahu dan pikirannya yang sudah lebih tenang mendirikan badannya untuk bergegas pulang, kali ini setelah percakapan kecil Suleyman lebih merasa percaya diri, karena Ibrahim mempercayakan pribadi Suleyman untuk tetap berdo’a pada Allah. Terdengarlah suara sebuah benda jatuh dari pinggang Suleyman, yaitu belatinya yang jatuh tanpa sengaja.

“ Suleyman ! “. Ibrahim memanggilnya, kemudian dia berbalik badan dan menatap ke belakang, ke arah Ibrahim.
“ ada apa, effendim ? “
“ belatimu jatuh dari pinggangmu “.
Diberikan lah belati itu dari tangannya kepada Suleyman.
“ tessekur ederim, affedersiniz, effendim, aselamu aleikum “.
“ waleikum selam…”.

               
                Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam malam berubah menjadi dini hari, matahari dari timur masih tersembunyi di bawah garis cakrawala. Suleyman duduk dengan menopangkan betis dan pahanya, dia berdo’a mendirikan ibadah malam kepada Allah. Putra Erdogan ini kebingungan dan  pikirannya terpenuhi berbagai macam kemungkinan, Suleyman bingung akan apa yang ia lakukan nantinya, jika sewaktu waktu bara api peperangan menghantam kehidupan keluarga dan orang orang tercintanya. Tapi dengan keyakinan dari Ibrahim akan perlindungan Allah, Suleyman bisa menenangkan diri. Sambil memeluk belatinya yang masih tersimpan aman di dalam sarung kulitnya, Suleyman perlahan memejamkan mata dan terlarut dalam tidurnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar